Prolog
K
|
ehidupan setiap orang membentuk sebuah
cerita narasi yang dapat dijadikan pelajaran bagi masing-masing pribadinya dan
juga orang-orang yang menjadi saksi atas perjalanan hidupnya. Namun, dari
pernyataan itu muncul sebuah tanda tanya besar tentang “kapan cerita kehidupan
seseorang dimualai?”, dan jawaban masing-masing orang pun berbeda. Ada yang
mengatakan bahwa cerita kehidupan dimulai sejak seseorang dilahirkan, ada juga
yang mengatakan bahwa drama kehidupan seseorang digelar sejak Allah meniupkan
ruh pada sesosok jasad dalam rahim ibunya.
Tapi, bukankan kita ada saat
ini karena adanya orang-orang sebelum kita? Apakan mungkin kita akan ada di
dunia bila orang-orang sebelum kita tidak ada di dunia yang begitu luas ini?
Jika demikian apakah berarti bahwa cerita kehidupan di mulai sejak Allah
memberikan kehidupan pada Nabi Adam?
Sudahlah....jangan mencoba
berpolemik dengan hal-hal yang tidak tidak pasti hingga kita hanya bisa
berspekulasi. Meskipun kita tidak tahu kapan cerita kehidupan itu dimulai namun
di sini, kita akan mendapatkan sebuah cerita yang akan kita ketahui kapan
dimulainya, karena di sini kita adalah penulis skenario yang mengatur jalannya
sebuah cerita.
dari Mentari untuk Andromeda
A
|
ku melihatnya untuk pertama kali di hari
pertamaku masuk SMA bukan karena kami berpapasan, bukan karena dia duduk
didekatku, juga bukan karena dia teman sekelasku. Tapi karena aku merasa
penasaran, tentang apa yang membuat kedua temanku, Lazha dan Rasya, berisik di
dalam perpustakaan sekolah meskipun hal itu adalah larangan keras di tempat
ini.
Aku pun melihatnya, sesosok
anak laki-laki duduk di sudut perpustakaan dengan menggunakan kacamata serius
membaca buku, dan dari pandangan pertama pun aku sudah mendapatkan jawaban dari
pertanyaanku tadi. Laki-laki itu tampan dengan tubuh yang tidak begitu kurus
dan tinggi dipadukan dengan kulitnya yang putih bersih, dan yang paling menarik
darinya adalah wajahnya karena di sana ada bibir tipis dengan guratan lesung
pipi yang meskipun dia tidak sedang tersenyum tapi tetap terlihat dan hidungnya
yang mancung juga matanya yang tajam dengan alis yang agak tebal. Jadi, secara
keseluruhan dia masuk dalam kriteria laki-laki impian yang bisa menakluk banyak
wanita hanya dengan satu kedipan.
Namun, bukan hal itu yang
membuatku terenyuh hingga membutuhkan waktu lebih lama untuk melihatnya karena
yang membuatku tertarik adalah sepasang bola mata yang berada di balik kaca
mata itu. Dia terlihat sedang membaca, namun aku melihat sepasang mata itu
menatap buku dengan tatapan kosong seperti orang yang sedang melamun.
Sejak saat itu, rasa
penasaranku tentang makna di balik tatapan kosong itu membuatku selalu
memperhatikannya meskipun secara sembunyi-sembunyi dan dengan tekun menyimak
semua informasi yang didapat teman-temanku meskipun dengan gaya acuh tak acuh.
Aku tahu akan sangat sulit untuk mendapatkan jawaban untuk rasa penasaranku
karena dia seperti namanya, Langit Andromeda, sebuah galaksi yang sangat jauh
dari bumi hingga sulit untuk dijangkau olehku.
Satu tahun sudah berlalu dan
aku belum bisa mendapatkan jawaban atas rasa penasaran yang semakin menggelayut
di hatiku. Meskipun begitu dalam satu tahun ini aku sudah mendapatkan beberapa
fakta tentangnya, bahwa dia selalu mendapat peringkat tertinggi di sekolah
meskipun nilai bahasanya kurang memuaskan, bahwa dia adalah anak tunggal, ayahnya
adalah seorang dosen di sebuah universitas ternama di kota ini dan ibunya
memiliki beberapa butik, bahwa dia sangat menyukai basket juga membaca dan
masih banyak fakta lainnya. Itulah sebabnya, aku mendapatkan beberapa cara
untuk bisa lebih memperhatikannya, seperti memanfaatkan waktu yang aku miliki
di sisa-sisa jam istirahat pertama dengan berlari keperpustakaan untuk mencari
buku dan melihat sosoknya duduk membaca buku di sudut yang sama seperti saat
aku pertama kali melihatnya.
Hukum fisika mengajarkan aku
bahwa dalam revolusi bumi terdapat dua titik yaitu aphelium (titik jauh
matahari) dan perihelium (titik dekat matahari). Dua titik itu juga terjadi
padaku dan perihuliumku tidak akan pernah aku lupakan karena pada saat itu sekelumit
drama telah digelar.
Rabu, 2 januari 2012 adalah
hari pertama masuk sekolah setelah libur semester jadi belum ada pelajaran.
Saat itu jam 09.45 aku baru selesai shalat dluha dan merasa lapar jadi aku
langsung menyusul teman-temanku yang sudah pergi ke kantin lebih dulu. Di sana,
bahkan sebelum duduk, aku sudah merasa hari ini begitu indah karena melihat
teman-temanku yang sudah duduk di dekat Langit dan satu-satunya kursi tersisa
berada di sampingnya.
“Aya dari mana?” Lazha
bertanya padaku setelah aku menyapa kedua temanku dan duduk di kursi yang
tersisa di samping Langit.
“Pastinya shalat dluha,
kayak nggak tahu Aya aja.” Jawab Rasya yang sedang mengaduk mie miliknya.
“Aya...kamu tahu, orangtua
kamu nggak salah kasih nama.” Lazha kembali berceloteh.
“Kok bisa?” tanyaku
penasaran.
“Iyalah...nama kamu kan
Cahaya Mentari dan kamu kan tahu matahari itu satu-satunya bintang di galaksi
bima sakti yang cahayanya sangat berguna bagi kehidupan manusia di bumi, dan
cahaya kamu bisa menyinari hati kami berdua yang gelap gulita, hehehe.” Jawab
Lazha dramatis sambil menunjuk dirinya sendiri dan Rasya yang berada di
sampingnya.
Aku hanya tersenyum
mendengar jawaban Lazha yang konyal.
“Tapi Aya, kamu pernah
ninggalin shalat nggak?” pertanyaan Rasya menyentakku.
“Kamu aneh Sya, bukannya
kamu tahu nggak ada manusia yang sempurna? Gitu juga aku kan? Tapi aku selalu
ingat pesan ayah jadi aku pikir aku memang nggak sempurna tapi aku bisa menjadi
yang terbaik kalau aku mau berusaha.” Jawabku dengan senyuman.
“Emang apa pesan ayah mu Ya?”
Lazha kembali bertanya.
“Ayah bilang Allah
memerintahkan setiap orangtua untuk memukul anak mereka yang berusia lebih dari
9 tahun namun tidak shalat, jadi ayah minta aku untuk tidak membuat ayah
menderita karena harus memukul aku yang tidak shalat.” Jawabku mengulang pesan
ayah.
Percakapan itu, mengalihkan
perhatianku untuk lebih memperhatikan Langit. Namun, tidak aku sangka sebelum
dia pergi dia mengucapkan kata-kata singkat yang membuatku kaget.
“Duluan ya...” Ucap Langit
sambil berdiri dan beranjak pergi bersama teman-temannya dan tidak lupa dia
memberikan senyuman dari bibir tipisnya yang membuat kedua temanku semakin
lemas karena sesak menahan napas.
Tahun keduaku berlalu dengan
satu kenangan manis dari sapaannya di kantin. Namun dia tetaplah Langit
Andromeda yang tidak akan pernah bisa tersentuh oleh Cahaya Mentari.
Aku memulai tahun ketigaku
dengan niat untuk mengurangi rasa penasaranku terhadap Langit dan fokus pada
UAN yang aku jalani dan juga usaha untuk masuk ke perguruan tinggi yang telah
aku pilih karena aku tahu yang aku inginkan belum tentu aku butuhkan. Aku
memang menginginkan Langit, meskipun bukan untuk memilikinya dan hanya sekedar
ingin tahu apa yang ada di balik mata sendu yang aku lihat di perpustakaan di
hari pertamaku memakai seragam putih abu-abu, tapi jelas bukan Langit yang aku
butuhkan saat ini.
Aku ingat, malam sebelum aku
masuk SMP dulu ibuku pernah berkata bahwa ilmu adalah hidayah dan belajar
adalah ikhtiah jadi kita tidak akan mendapatkan sesuatu tanpa berusaha dan
karena Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum sebelum kaum tersebut merubahnya
sendiri. Jadi Allah selalu memberikan sesuatu sesuai dengan kadar usaha
umatnya. Tapi, ada apa dengan sistem kerja Allah saat ini? Apakah Allah
sekarang bekerja dengan sistem yang berbeda? Kenapa di saat aku ingin menjauh
dari Langit, Allah memberikan ruang yang lebih luas untuk aku lebih
mengenalnya?
Di tahun ketiga, semua murid
akan sibuk dengan segala macam bentuk bimbingan yang pihak sekolah programkan
untuk menghadapi UAN dan juga berbagai undangan masuk ke perguruan tinggi negeri
tanpa tes sehingga membuat beberapa murid yang masuk seleksi penerima undangan
harus konsultasi ke BK selain orangtua tentu saja. Masalah kedualah yang
memberiku ruang lebih untuk mengenal Langit, sebab Langit tentu saja menjadi
kandidat utama penerima undangan masuk PTN (perguruan tinggi negeri) tanpa tes
tersebut karena peringkat pertama sekolah abadi berada digenggamnya. Sedangkan
aku, sebagai murid yang selalu mengekor peringkan Langit karena aku sudah
mengakar dengan peringkat dua sekolah -meskipun aku adalah peringkat pertama di
kelasku tapi untuk tingkat sekolah aku telah kalah dengan kekalahan yang sangat
telak-, juga mendapatkan kesempatan untuk menerima undangan PTN tanpa tes.
Permasalah ini diperparah
karena jadwal konsultasi dan guru BK untuk aku dan Langit sama, hari kamis jam
1 siang dengan ibu Endang. Di sini, aku benar-benar tidak bisa memahami sistem
kerja Allah.
Pada konsultasi pertama ibu
Endang meminta aku dan Langit untuk mebuat rencana PTN tujuan utama dan PTN
tujuan cadangan serta jurusan pilihan. Aku memilih UNPAD sebagai tujuan utama
dan UGM sebagai tujuan cadangan. Sedangkan Langit memilih UI sebagai tujuan
utama dan tujuan cadangannya adalah UGM. Untuk jurusan aku memilih Psikologi,
karena aku memang senang menyelami kepribadian orang-orang. Namun aku sangat
heran saat mendengar bahwa Langit memilih sastra sebagai jurusan pilihan.
Kebinganku bukan tanpa alasan, tapi karena Langit selalu mendapat nilai yang
hampir sempurna di semua mata pelajaran kecuali bahasa. Semua orang tahu bahasa
dan sastra tidak pernah terpisahkan, jadi mengapa dia memilih sastra? Meskipun
ibu Endang sudah menyarankannya untuk mengambil FKIP atau hukum dia tetap tidak
mau berkompromi. Katanya “sastra atau tidak sama sekali”.
Konsultasi pertama ditutup
dengan satu kesimpulan dariku, bahwa Langit tidak pernah menyerah terhadap apa
yang dia inginkan meskipun kenyataan memakinya dengan kasar.
Konsultasi-konsultasi berikutnya berlalu begitu saja, hanya dengan sapa dan
senyum di awal dan akhir perjumpaanku dengan Langit, tidak lebih. Tapi aku
bersyukur akan hal itu, karena itu berarti bahwa niat awalku di awal tahun
ketiga ini bisa aku laksanakan meskipun aku memiliki kesempatan untuk melupakan
niat itu.
Ahmad Fuadi selalu
mengatakan “man jadda wa jadda”. Hal
itu berlaku juga untukku, setelah semua kerja keras yang menguras tenaga dan
pikiran juga do’a yang tidak hentinya dipenjatkan oleh aku dan juga orangtuaku
akhirnya aku bisa lulus UAN dengan hasil yang cukup memuaskan –mungkin akan
sangat memuaskan kalau aku mau lebih bersyukur, karena aku lulus dengan nilai
yang hampir sempurna meskipun lagi-lagi harus puas dengan berada di urutan
kedua. Mungkin 2 adalah angka yang terbaik untukku karena selain lulus dengan
berada di urutan kedua, aku juga diterima di PTN pilihan keduaku. Sedangkan
Langit sudah tentu mendapatkan yang pertama, lulus sebagai lulusan terbaik dan
di terima di PTN yang terbaik pula, sempurna bukan?
Tiga tahun masa abu-abuku
kini mulai berlalu, meninggalkan banyak kenangan tentang persahabatan,
persaudaraan, juga cinta. Ya...CINTA. Aku seperti namaku Cahaya Mentari,
bintang yang dititahkan Allah untuk menyinari galaksi Bima Sakti namun tidak
bisa memberikan hangatnya sinarku pada Langit Andromeda yang terlihat sunyi
karena tidak berpenghuni.
dari Andormeda untuk Mentari
A
|
ku tak ingat kapan pertama kali aku
melihatnya, karena aku tidak pernah berpapasan dengannya, tidak pernah duduk di
dekatnya, juga tidak pernah satu kelas dengannya. Tapi dia membuatku penasaran
karena dia satu-satunya orang yang tidak bisa aku mengerti arti tatapannya
padaku.
Aku selalu bisa menebak arti
tatapan semua orang padaku, karena setiap tatapan itu selalu sama. Para guru
menatapku kagum, para wanita menatapku tertarik seolah aku adalah strowberry
cheese cake yang sangat enak, dan para laki-laki menatapku iri terdakang ada
juga tatapan benci. Sejauh yang aku tahu, 3 jenis tatapan itulah yang selalu
aku dapatkan. Tapi, entah sejak kapan aku mulai menyadari bahwa ada sepasang
mata yang selalu menatapku dengan tatapan yang sulit untuk aku artikan, seolah
dia bisa mengetahui apa yang selama ini aku sembunyikan dibalik kesempurnaan
yang aku miliki.
Dia hanya seorang gadis
biasa, dengan tubuh yang tidak terlalu tinggi dan sedikit berisi, dan berwajah
layaknya keturunan ras melayu pada umumnya yang sedikit lonjong, bermata besar
dengan alis yang tebal, berhidung bangir itulah satu-satunya hal yang ada di
wajahnya yang bernilai baik di mataku
Meskipun segala sesuatu
tantangnya serba biasa dan tidak ada yang istimewa di mataku. Tapi, tatapannya
kepadaku yang tidak dapat aku tebak artinya itu membuatku tertarik dan
penasaran tentang bagaimana dia menilai aku.
Sejak saat itu, rasa
penasaranku tentang makna di balik tatapan yang tidak dapat aku tebak itu
membuatku diam-diam selalu memperhatikannya, seperti saat dia terburu-buru
memilih buku dengan nafas yang masih terengah-engah pada sisa-sisa waktu
istirahat pertama, aku selalu meliriknya tanpa berani melihat dan dia selalu
memberikanku tatapan yang tidak bisa aku tepak itu.
Tanpa terasa satu tahun
berlalu tanpa pernah aku dapatkan arti di balik tatapan yang selalu dia berikan
padaku. Meskipun begitu aku telah mengalami kemajuan dalam proses pencarianku,
aku tahu bahwa ayahnya seorang karyawan sebuah perusahaan kecil dan ibunya
adalah ibu rumah tangga biasa, dia juga memiliki seorang kakak yang masih
berada di kelas tiga di SMA ini. Itu sebabnya aku selalu melihatnya berada di
lobi sekolah dengan membaca buku hingga petang menunggu kakaknya untuk pulang
bersama. Tapi dari semua fakta tentangnya yang aku miliki, ada satu yang paling
aku sukai yaitu bahwa dia selalu mendapat peringkat di bawahku.
Aku selalu berusaha untuk
bisa lebih mengenalnya, tapi aku belum pernah mendapatkan kesempatan. Namun,
seperti halnya hukum fisika tentang revolusi bumi, bahwa akan selalu ada dua
titik yang bersebrangan yaitu aphelium (titik jauh matahari) dan perihelum
(titik dekat matahari), begitu juga dengan hidupku. Dan pada akhirnya, pada
tahun kedua ini aku mendapatkan titik periheliumku yang selama ini aku tunggu.
Rabu, 2 januari 2012 adalah
hari pertama masuk sekolah setelah libur semester jadi belum ada pelajaran.
Saat itu jam 09.30 aku baru selesai membaca buku di perpustakaan dan merasa lapar
jadi aku langsung mengajak teman-temanku untuk makan di kantin. Tidak lama
setelah aku duduk datang 2 orang temannya dan duduk di dekatku. Saat aku mulai
merasa kecewa karena tidak bisa melihat sosoknya, ternyata dia datang -seperti
biasa- dengan terengah-engah dan hal yang lebih menggembirakanku lagi adalah
satu-satunya kursi yang tersisa berada tepat di sampingku.
“Aya dari mana?” salah satu
temannya yang berkacamata bernama Lazha bertanya padanya.
“Pastinya shalat dluha, kayak
nggak tahu aya aja.” Temannya yang lain bernama Rasya menjawab. Jawaban itulah
yang membuatku tahu mengapa selama ini dia selalu datang ke perpustakaan dengan
napas yang terenggah-enggah di sisa-sisa waktu istirahat pertama dan dengan
cepat memilih buku sambil melihatku dengan tatapan yang sama yaitu tatapan yang
tidak dapat aku artikan.
“Aya...kamu tahu, orangtua
kamu nggak salah kasih nama.” Lazha kembali berceloteh.
“Kok bisa?” tanyanya
penasaran. Hal itu membuatku kembali melupakan makan siangku dan obrolan
bersama teman-temanku sejenak dan mulai menyimak percakapan ketiga sahabat itu.
“Iyalah...nama kamu kan
Cahaya Mentari dan kamu kan tahu matahari itu satu-satunya bintang di galaksi
bima sakti yang cahayanya sangat berguna bagi kehidupan manusia di bumi, dan
cahaya kamu bisa menyinari hati kami berdua yang gelap gulita, hehehe.” Jawab
Lazha dramatis sambil menunjuk dirinya sendiri dan Rasya yang berada di
sampingnya.
Aku melihat Cahaya hanya
tersenyum mendengar jawaban Lazha.
“Tapi aya, kamu pernah ninggalin
shalat nggak?” Cahaya terlihat tersentak saat mendengar pertanyaan Rasya.
“Kamu aneh sya, bukannya
kamu tahu nggak ada manusia yang sempurna? Gitu juga aku kan? Tapi aku selalu
ingat pesan ayah jadi aku pikir aku memang nggak sempurna tapi aku bisa menjadi
yang terbaik kalau aku mau berusaha.” Dia menjawab dengan tersenyum, dan
jawaban itu memberinya nilai yang sempurna di mataku.
“Emang apa pesan ayah mu
ya?” Lazha kembali bertanya, dan dalam diam aku juga penasaran menunggu jawaban
yang Cahaya berikan.
“Ayah bilang Allah
memerintahkan setiap orangtua untuk memukul anak mereka yang berusia lebih dari
9 tahun namun tidak shalat, jadi ayah minta aku untuk tidak membuat ayah
menderita karena harus memukul aku karena tidak shalat.” Jawab Cahaya dengan
yakin.
Sepertinya dia terlalu asyik
mengobrol dengan teman-temannya hingga tidak memperhatikan keberadaanku di
sampingnya. Hal itulah yang memaksaku untuk berani menyapanya sebelum pergi
meninggalkan tempatku. Meskipun hanya sekedar kata “duluan ya...” tapi aku
senang, karena setidaknya aku sudah berusaha untuk melangkah lebih dekat
dengannya. Sapaan itu membuat kedua temannya seperti kepiting rebus sedangkan
dia seperti biasa kembali memberiku tatapan yang tidak dapat aku mengerti.
Tahun keduaku berakhir
dengan sekelumit kenangan tentang langkah majuku yang begitu berani untuk
menyapanya. Karena selama ini aku terlalu takut akan jawaban yang ada di balik
tatapannya meskipun aku juga penasaran jadi aku hanya bisa menyelaminya dalam
diam. Namun, meskipun dua tahun sudah berlalu dia tetaplah Cahaya Mentari yang
tidak dapat dirasakan kehangatannya oleh Langit Andromeda.
Tahun ketigaku ini aku mulai
dengan niat bahwa aku harus berani melangkah lebih maju untuk mendekatinya dan
mendapatkan jawaban dari rasa penasaran yang selama ini mengerogoti pikiranku,
karena ini adalah tahun terakhirku berada di SMA dan mungkin juga akan menjadi
tahun terakhir untuk bisa selalu mencuri-curi kesempatan untuk melihatnya.
As you saw, so you rip. Begitulah pepatah yang
selalu aku dengar, apa yang kau tanam itulah yang kau tuai. Aku baru saja
berniat untuk mulai berusaha lebih dekat dengannya namun belum menemukan
bagaimana caranya. Tetapi tangan Tuhan bergerak lebih cepat dari pada pikiranku,
karena Dia memberiku cara untuk bisa lebih dekat dengannya.
Ditahun ketiga, semua murid
akan sibuk dengan segala macam bentuk bimbingan yang pihak sekolah programkan
untuk menghadapi UAN dan juga berbagai undangan masuk ke perguruan tinggi
negeri tanpa tes sehingga membuat beberapa murid yang masuk seleksi penerima
undangan harus konsultasi ke BK selain orangtua tentu saja. Bagian kedualah
yang paling aku sukai karena memberiku ruang lebih untuk mengenal Cahaya,
karena Aku adalah kandidat utama
penerima undangan masuk PTN (perguruan tinggi negeri) tanpa tes tersebut sebab
peringkat pertama sekolah abadi berada digenggamanku. Sedangkan sebagai murid
yang selalu mengekor peringkatku, Cahaya sudah mengakar dengan peringkat dua
sekolah –meskipun aku tahu bahwa dia mendapat peringkat pertama di kelasnya
tapi untuk tingkat sekolah aku telah mengalahkannya dengan kekalahan yang
sangat telak-, juga mendapatkan kesempatan untuk menerima undangan PTN tanpa
tes.
Kebahagianku tidak berhenti
hanya sampai di sini karena sepertinya dewi fortuna telah mengecup keningku
hingga menjadikan aku dan Cahaya memiliki jadwal konsultasi dan guru pembimbing
BK yang sama, yaitu hari kamis jam 1 siang dengan ibu Endang. Keberuntungan
benar-benar berpihak kepadaku.
Pada konsultasi pertama ibu
Endang meminta aku dan Cahaya untuk mebuat rencana PTN tujuan utama dan PTN
tujuan cadangan serta jurusan pilihan. Cahaya memilih UNPAD sebagai tujuan
utama dan UGM sebagai tujuan cadangan. Untuk jurusan cahaya memilih Psikologi,
pilihan-pilihannya itu membuat aku semakin menyadari bahwa dia memang
benar-benar sulit ditebak. Dia menjadikan UGM sebagai pilihan kedua setelah
UNPAD meskipun dilihat dari beberapa faktor UGM lebih baik dibanding UNPAD dan
dia juga memilih jurusan psikologi, apa mungkin dia suka menyelami kepribadian
orang hingga menyebabkan tatapannya padaku selalu aneh dan sulit untuk ditebak.
Sedangkan aku memilih UI
sebagai tujuan utama dan tujuan cadangannya adalah UGM. Aku bersyukur karena dari beberapa jenis tatapannya padaku,
pada konsultasi pertama ini aku bisa memahami arti dari satu tatapan yang dia
berikan padaku, itu adalah tatapan heran dan terkejut. Ya...saat aku mengatakan
bahwa aku memilih jurusan sastra, dia menatapku dengan tatapan heran dan
terkejut itu. Aku bisa memahami kenapa Cahaya heran dan terkejut mendengarku
memilih jurusan itu. Ini karena aku selalu mendapat nilai yang hampir sempurna
di semua mata pelajaran kecuali bahasa –dan semua orang tahu bahwa bahasa dan
sastra tidak pernah terpisahkan.
Aku tahu tidak hanya Cahaya
yang terkejut dan heran mendengar keputusanku, tapi ibu Endang juga begitu.
Tapi aku tidak akan menyerah kerena aku tahu sastra adalah hal yang disukai
oleh Cahaya. Aku yakin akan hal itu karena dia selalu menang dalam berbagai
lomba baca dan tulis puisi, cerpen dan hal-hal yang berbau sastra. Tidak hanya
itu puisi dan cerpennya juga selalu mengisi kolom mading dan juga majalah
sekolah. Dia juga menjadi angkota inti dari club sastra di sekolah. Jadi aku
tidak akan mundur meskipun ibu Endang menyarankan padaku untuk mengambil FKIP
atau hukum, karena ini adalah satu-satunya jalan yang saat ini aku miliki untuk
melangkah lebih dekat dengannya.
“Sastra atau tidak sama
sekali” kataku tegas.
Konsultasi pertama ditutup
dengan satu kesimpulan dariku, bahwa akan sangat sulit mengartikan tatapannya
padaku karena dia suka dengan dunia psikologi sehingga mudah baginya untuk
mengendalikan dirinya dari perhatian orang lain. Konsultasi-konsultasi
berikutnya berlalu begitu saja, hanya dengan sapa dan senyum di awal dan akhir
perjumpaanku dengan Cahaya, tidak lebih. Jadi, aku sedikit menyesali sikapku
yang sangat penakut itu hingga tidak berani meskipun hanya sekenar mengajaknya
mengobrol.
Seperti yang sudah aku duga,
aku akan menutup tahun ketigaku dengan hasil yang sangat memuaskan. Ya...aku
menjadi lulusan terbaik dan diterima di PTN terbaik. Semua orang pasti mengira
itu suatu yang sempurna. Namun, jika aku pikirkan kembali, itu tidaklah
sempurna karena meskipun 3 tahun telah aku lalui tapi aku hanya bisa melangkah
beberapa jengkal kearah Cahaya dan itu tidak menimbulkan perubahan yang berarti.
Tiga tahun masa abu-abuku
kini mulai berlalu, meninggalkan banyak kenangan tentang persahabatan,
persaudaraan, juga cinta. Ya...CINTA. Aku seperti namaku Langit Andromeda,
bukan galaksi Bima Sakti yang ditakdirkan oleh Tuhan untuk selalu disinari oleh
Cahaya Mentari. Sehingga aku tidak pernah bisa merasakan hanyatnya sinar
mentari itu
Epilog
S
|
etiap orang berhak menentukan akhir cerita
seperti apa yang kalian inginkan karena kalian adalah penulis skenario dalam cerita
kehidupan yang kalian jalani dan juga cerita ini.
Mungkin akan ada yang
memilih untuk menyatukan mereka dengan pertemuan yang tak terduga, hingga
memunculkan keberani dalam diri Cahaya dan Langit untuk mengungkapakan isi hati
mereka atau ada yang lebih memilih untuk mengakhirinya dengan akhir yang
menyedihkan dan mengaharu biru karena pada akhirnya Cahaya dan Langit tidak
pernah bertemu dan hanya bisa memendam cinta dalam hati.
Tapi, bagaimanapun akhir
yang kalian inginkan, aku berharap itu adalah hal terbaik yang bisa kalian
lakukan karena seperti kata Adrea Hirata bahwa kita harus relistis (melakukan
yang terbaik di titik di mana kita berdiri) agar kelak kita tidak akan
menyesali apa yang akan terjadi karena setidaknya kita tahu bahwa kita telah
mencoba yang terbaik untuk kita lakukan.
Jadi akhir cerita seperti
apakah yang kalian berikan untuk Cahaya
Mentari di Langit Andromeda ini...?