Minggu, 03 Februari 2013

NOVELET: "Cahaya Mentari di Langit Andromeda



Prolog

K
ehidupan setiap orang membentuk sebuah cerita narasi yang dapat dijadikan pelajaran bagi masing-masing pribadinya dan juga orang-orang yang menjadi saksi atas perjalanan hidupnya. Namun, dari pernyataan itu muncul sebuah tanda tanya besar tentang “kapan cerita kehidupan seseorang dimualai?”, dan jawaban masing-masing orang pun berbeda. Ada yang mengatakan bahwa cerita kehidupan dimulai sejak seseorang dilahirkan, ada juga yang mengatakan bahwa drama kehidupan seseorang digelar sejak Allah meniupkan ruh pada sesosok jasad dalam rahim ibunya.
Tapi, bukankan kita ada saat ini karena adanya orang-orang sebelum kita? Apakan mungkin kita akan ada di dunia bila orang-orang sebelum kita tidak ada di dunia yang begitu luas ini? Jika demikian apakah berarti bahwa cerita kehidupan di mulai sejak Allah memberikan kehidupan pada Nabi Adam?
Sudahlah....jangan mencoba berpolemik dengan hal-hal yang tidak tidak pasti hingga kita hanya bisa berspekulasi. Meskipun kita tidak tahu kapan cerita kehidupan itu dimulai namun di sini, kita akan mendapatkan sebuah cerita yang akan kita ketahui kapan dimulainya, karena di sini kita adalah penulis skenario yang mengatur jalannya sebuah cerita.







dari Mentari untuk Andromeda

A
ku melihatnya untuk pertama kali di hari pertamaku masuk SMA bukan karena kami berpapasan, bukan karena dia duduk didekatku, juga bukan karena dia teman sekelasku. Tapi karena aku merasa penasaran, tentang apa yang membuat kedua temanku, Lazha dan Rasya, berisik di dalam perpustakaan sekolah meskipun hal itu adalah larangan keras di tempat ini.
Aku pun melihatnya, sesosok anak laki-laki duduk di sudut perpustakaan dengan menggunakan kacamata serius membaca buku, dan dari pandangan pertama pun aku sudah mendapatkan jawaban dari pertanyaanku tadi. Laki-laki itu tampan dengan tubuh yang tidak begitu kurus dan tinggi dipadukan dengan kulitnya yang putih bersih, dan yang paling menarik darinya adalah wajahnya karena di sana ada bibir tipis dengan guratan lesung pipi yang meskipun dia tidak sedang tersenyum tapi tetap terlihat dan hidungnya yang mancung juga matanya yang tajam dengan alis yang agak tebal. Jadi, secara keseluruhan dia masuk dalam kriteria laki-laki impian yang bisa menakluk banyak wanita hanya dengan satu kedipan.
Namun, bukan hal itu yang membuatku terenyuh hingga membutuhkan waktu lebih lama untuk melihatnya karena yang membuatku tertarik adalah sepasang bola mata yang berada di balik kaca mata itu. Dia terlihat sedang membaca, namun aku melihat sepasang mata itu menatap buku dengan tatapan kosong seperti orang yang sedang melamun.
Sejak saat itu, rasa penasaranku tentang makna di balik tatapan kosong itu membuatku selalu memperhatikannya meskipun secara sembunyi-sembunyi dan dengan tekun menyimak semua informasi yang didapat teman-temanku meskipun dengan gaya acuh tak acuh. Aku tahu akan sangat sulit untuk mendapatkan jawaban untuk rasa penasaranku karena dia seperti namanya, Langit Andromeda, sebuah galaksi yang sangat jauh dari bumi hingga sulit untuk dijangkau olehku.
Satu tahun sudah berlalu dan aku belum bisa mendapatkan jawaban atas rasa penasaran yang semakin menggelayut di hatiku. Meskipun begitu dalam satu tahun ini aku sudah mendapatkan beberapa fakta tentangnya, bahwa dia selalu mendapat peringkat tertinggi di sekolah meskipun nilai bahasanya kurang memuaskan, bahwa dia adalah anak tunggal, ayahnya adalah seorang dosen di sebuah universitas ternama di kota ini dan ibunya memiliki beberapa butik, bahwa dia sangat menyukai basket juga membaca dan masih banyak fakta lainnya. Itulah sebabnya, aku mendapatkan beberapa cara untuk bisa lebih memperhatikannya, seperti memanfaatkan waktu yang aku miliki di sisa-sisa jam istirahat pertama dengan berlari keperpustakaan untuk mencari buku dan melihat sosoknya duduk membaca buku di sudut yang sama seperti saat aku pertama kali melihatnya.
Hukum fisika mengajarkan aku bahwa dalam revolusi bumi terdapat dua titik yaitu aphelium (titik jauh matahari) dan perihelium (titik dekat matahari). Dua titik itu juga terjadi padaku dan perihuliumku tidak akan pernah aku lupakan karena pada saat itu sekelumit drama telah digelar.
Rabu, 2 januari 2012 adalah hari pertama masuk sekolah setelah libur semester jadi belum ada pelajaran. Saat itu jam 09.45 aku baru selesai shalat dluha dan merasa lapar jadi aku langsung menyusul teman-temanku yang sudah pergi ke kantin lebih dulu. Di sana, bahkan sebelum duduk, aku sudah merasa hari ini begitu indah karena melihat teman-temanku yang sudah duduk di dekat Langit dan satu-satunya kursi tersisa berada di sampingnya.
“Aya dari mana?” Lazha bertanya padaku setelah aku menyapa kedua temanku dan duduk di kursi yang tersisa di samping Langit.
“Pastinya shalat dluha, kayak nggak tahu Aya aja.” Jawab Rasya yang sedang mengaduk mie miliknya.
“Aya...kamu tahu, orangtua kamu nggak salah kasih nama.” Lazha kembali berceloteh.
“Kok bisa?” tanyaku penasaran.
“Iyalah...nama kamu kan Cahaya Mentari dan kamu kan tahu matahari itu satu-satunya bintang di galaksi bima sakti yang cahayanya sangat berguna bagi kehidupan manusia di bumi, dan cahaya kamu bisa menyinari hati kami berdua yang gelap gulita, hehehe.” Jawab Lazha dramatis sambil menunjuk dirinya sendiri dan Rasya yang berada di sampingnya.
Aku hanya tersenyum mendengar jawaban Lazha yang konyal.
“Tapi Aya, kamu pernah ninggalin shalat nggak?” pertanyaan Rasya menyentakku.
“Kamu aneh Sya, bukannya kamu tahu nggak ada manusia yang sempurna? Gitu juga aku kan? Tapi aku selalu ingat pesan ayah jadi aku pikir aku memang nggak sempurna tapi aku bisa menjadi yang terbaik kalau aku mau berusaha.” Jawabku dengan senyuman.
“Emang apa pesan ayah mu Ya?” Lazha kembali bertanya.
“Ayah bilang Allah memerintahkan setiap orangtua untuk memukul anak mereka yang berusia lebih dari 9 tahun namun tidak shalat, jadi ayah minta aku untuk tidak membuat ayah menderita karena harus memukul aku yang tidak shalat.” Jawabku mengulang pesan ayah.
Percakapan itu, mengalihkan perhatianku untuk lebih memperhatikan Langit. Namun, tidak aku sangka sebelum dia pergi dia mengucapkan kata-kata singkat yang membuatku kaget.
“Duluan ya...” Ucap Langit sambil berdiri dan beranjak pergi bersama teman-temannya dan tidak lupa dia memberikan senyuman dari bibir tipisnya yang membuat kedua temanku semakin lemas karena sesak menahan napas.
Tahun keduaku berlalu dengan satu kenangan manis dari sapaannya di kantin. Namun dia tetaplah Langit Andromeda yang tidak akan pernah bisa tersentuh oleh Cahaya Mentari.
Aku memulai tahun ketigaku dengan niat untuk mengurangi rasa penasaranku terhadap Langit dan fokus pada UAN yang aku jalani dan juga usaha untuk masuk ke perguruan tinggi yang telah aku pilih karena aku tahu yang aku inginkan belum tentu aku butuhkan. Aku memang menginginkan Langit, meskipun bukan untuk memilikinya dan hanya sekedar ingin tahu apa yang ada di balik mata sendu yang aku lihat di perpustakaan di hari pertamaku memakai seragam putih abu-abu, tapi jelas bukan Langit yang aku butuhkan saat ini.
Aku ingat, malam sebelum aku masuk SMP dulu ibuku pernah berkata bahwa ilmu adalah hidayah dan belajar adalah ikhtiah jadi kita tidak akan mendapatkan sesuatu tanpa berusaha dan karena Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum sebelum kaum tersebut merubahnya sendiri. Jadi Allah selalu memberikan sesuatu sesuai dengan kadar usaha umatnya. Tapi, ada apa dengan sistem kerja Allah saat ini? Apakah Allah sekarang bekerja dengan sistem yang berbeda? Kenapa di saat aku ingin menjauh dari Langit, Allah memberikan ruang yang lebih luas untuk aku lebih mengenalnya?
Di tahun ketiga, semua murid akan sibuk dengan segala macam bentuk bimbingan yang pihak sekolah programkan untuk menghadapi UAN dan juga berbagai undangan masuk ke perguruan tinggi negeri tanpa tes sehingga membuat beberapa murid yang masuk seleksi penerima undangan harus konsultasi ke BK selain orangtua tentu saja. Masalah kedualah yang memberiku ruang lebih untuk mengenal Langit, sebab Langit tentu saja menjadi kandidat utama penerima undangan masuk PTN (perguruan tinggi negeri) tanpa tes tersebut karena peringkat pertama sekolah abadi berada digenggamnya. Sedangkan aku, sebagai murid yang selalu mengekor peringkan Langit karena aku sudah mengakar dengan peringkat dua sekolah -meskipun aku adalah peringkat pertama di kelasku tapi untuk tingkat sekolah aku telah kalah dengan kekalahan yang sangat telak-, juga mendapatkan kesempatan untuk menerima undangan PTN tanpa tes.
Permasalah ini diperparah karena jadwal konsultasi dan guru BK untuk aku dan Langit sama, hari kamis jam 1 siang dengan ibu Endang. Di sini, aku benar-benar tidak bisa memahami sistem kerja Allah.
Pada konsultasi pertama ibu Endang meminta aku dan Langit untuk mebuat rencana PTN tujuan utama dan PTN tujuan cadangan serta jurusan pilihan. Aku memilih UNPAD sebagai tujuan utama dan UGM sebagai tujuan cadangan. Sedangkan Langit memilih UI sebagai tujuan utama dan tujuan cadangannya adalah UGM. Untuk jurusan aku memilih Psikologi, karena aku memang senang menyelami kepribadian orang-orang. Namun aku sangat heran saat mendengar bahwa Langit memilih sastra sebagai jurusan pilihan. Kebinganku bukan tanpa alasan, tapi karena Langit selalu mendapat nilai yang hampir sempurna di semua mata pelajaran kecuali bahasa. Semua orang tahu bahasa dan sastra tidak pernah terpisahkan, jadi mengapa dia memilih sastra? Meskipun ibu Endang sudah menyarankannya untuk mengambil FKIP atau hukum dia tetap tidak mau berkompromi. Katanya “sastra atau tidak sama sekali”.
Konsultasi pertama ditutup dengan satu kesimpulan dariku, bahwa Langit tidak pernah menyerah terhadap apa yang dia inginkan meskipun kenyataan memakinya dengan kasar. Konsultasi-konsultasi berikutnya berlalu begitu saja, hanya dengan sapa dan senyum di awal dan akhir perjumpaanku dengan Langit, tidak lebih. Tapi aku bersyukur akan hal itu, karena itu berarti bahwa niat awalku di awal tahun ketiga ini bisa aku laksanakan meskipun aku memiliki kesempatan untuk melupakan niat itu.
Ahmad Fuadi selalu mengatakan “man jadda wa jadda”. Hal itu berlaku juga untukku, setelah semua kerja keras yang menguras tenaga dan pikiran juga do’a yang tidak hentinya dipenjatkan oleh aku dan juga orangtuaku akhirnya aku bisa lulus UAN dengan hasil yang cukup memuaskan –mungkin akan sangat memuaskan kalau aku mau lebih bersyukur, karena aku lulus dengan nilai yang hampir sempurna meskipun lagi-lagi harus puas dengan berada di urutan kedua. Mungkin 2 adalah angka yang terbaik untukku karena selain lulus dengan berada di urutan kedua, aku juga diterima di PTN pilihan keduaku. Sedangkan Langit sudah tentu mendapatkan yang pertama, lulus sebagai lulusan terbaik dan di terima di PTN yang terbaik pula, sempurna bukan?
Tiga tahun masa abu-abuku kini mulai berlalu, meninggalkan banyak kenangan tentang persahabatan, persaudaraan, juga cinta. Ya...CINTA. Aku seperti namaku Cahaya Mentari, bintang yang dititahkan Allah untuk menyinari galaksi Bima Sakti namun tidak bisa memberikan hangatnya sinarku pada Langit Andromeda yang terlihat sunyi karena tidak berpenghuni.




dari Andormeda untuk Mentari

A
ku tak ingat kapan pertama kali aku melihatnya, karena aku tidak pernah berpapasan dengannya, tidak pernah duduk di dekatnya, juga tidak pernah satu kelas dengannya. Tapi dia membuatku penasaran karena dia satu-satunya orang yang tidak bisa aku mengerti arti tatapannya padaku.
Aku selalu bisa menebak arti tatapan semua orang padaku, karena setiap tatapan itu selalu sama. Para guru menatapku kagum, para wanita menatapku tertarik seolah aku adalah strowberry cheese cake yang sangat enak, dan para laki-laki menatapku iri terdakang ada juga tatapan benci. Sejauh yang aku tahu, 3 jenis tatapan itulah yang selalu aku dapatkan. Tapi, entah sejak kapan aku mulai menyadari bahwa ada sepasang mata yang selalu menatapku dengan tatapan yang sulit untuk aku artikan, seolah dia bisa mengetahui apa yang selama ini aku sembunyikan dibalik kesempurnaan yang aku miliki.
Dia hanya seorang gadis biasa, dengan tubuh yang tidak terlalu tinggi dan sedikit berisi, dan berwajah layaknya keturunan ras melayu pada umumnya yang sedikit lonjong, bermata besar dengan alis yang tebal, berhidung bangir itulah satu-satunya hal yang ada di wajahnya yang bernilai baik di mataku
Meskipun segala sesuatu tantangnya serba biasa dan tidak ada yang istimewa di mataku. Tapi, tatapannya kepadaku yang tidak dapat aku tebak artinya itu membuatku tertarik dan penasaran tentang bagaimana dia menilai aku.
Sejak saat itu, rasa penasaranku tentang makna di balik tatapan yang tidak dapat aku tebak itu membuatku diam-diam selalu memperhatikannya, seperti saat dia terburu-buru memilih buku dengan nafas yang masih terengah-engah pada sisa-sisa waktu istirahat pertama, aku selalu meliriknya tanpa berani melihat dan dia selalu memberikanku tatapan yang tidak bisa aku tepak itu.
Tanpa terasa satu tahun berlalu tanpa pernah aku dapatkan arti di balik tatapan yang selalu dia berikan padaku. Meskipun begitu aku telah mengalami kemajuan dalam proses pencarianku, aku tahu bahwa ayahnya seorang karyawan sebuah perusahaan kecil dan ibunya adalah ibu rumah tangga biasa, dia juga memiliki seorang kakak yang masih berada di kelas tiga di SMA ini. Itu sebabnya aku selalu melihatnya berada di lobi sekolah dengan membaca buku hingga petang menunggu kakaknya untuk pulang bersama. Tapi dari semua fakta tentangnya yang aku miliki, ada satu yang paling aku sukai yaitu bahwa dia selalu mendapat peringkat di bawahku.
Aku selalu berusaha untuk bisa lebih mengenalnya, tapi aku belum pernah mendapatkan kesempatan. Namun, seperti halnya hukum fisika tentang revolusi bumi, bahwa akan selalu ada dua titik yang bersebrangan yaitu aphelium (titik jauh matahari) dan perihelum (titik dekat matahari), begitu juga dengan hidupku. Dan pada akhirnya, pada tahun kedua ini aku mendapatkan titik periheliumku yang selama ini aku tunggu.
Rabu, 2 januari 2012 adalah hari pertama masuk sekolah setelah libur semester jadi belum ada pelajaran. Saat itu jam 09.30 aku baru selesai membaca buku di perpustakaan dan merasa lapar jadi aku langsung mengajak teman-temanku untuk makan di kantin. Tidak lama setelah aku duduk datang 2 orang temannya dan duduk di dekatku. Saat aku mulai merasa kecewa karena tidak bisa melihat sosoknya, ternyata dia datang -seperti biasa- dengan terengah-engah dan hal yang lebih menggembirakanku lagi adalah satu-satunya kursi yang tersisa berada tepat di sampingku.
“Aya dari mana?” salah satu temannya yang berkacamata bernama Lazha bertanya padanya.
“Pastinya shalat dluha, kayak nggak tahu aya aja.” Temannya yang lain bernama Rasya menjawab. Jawaban itulah yang membuatku tahu mengapa selama ini dia selalu datang ke perpustakaan dengan napas yang terenggah-enggah di sisa-sisa waktu istirahat pertama dan dengan cepat memilih buku sambil melihatku dengan tatapan yang sama yaitu tatapan yang tidak dapat aku artikan.
“Aya...kamu tahu, orangtua kamu nggak salah kasih nama.” Lazha kembali berceloteh.
“Kok bisa?” tanyanya penasaran. Hal itu membuatku kembali melupakan makan siangku dan obrolan bersama teman-temanku sejenak dan mulai menyimak percakapan ketiga sahabat itu.
“Iyalah...nama kamu kan Cahaya Mentari dan kamu kan tahu matahari itu satu-satunya bintang di galaksi bima sakti yang cahayanya sangat berguna bagi kehidupan manusia di bumi, dan cahaya kamu bisa menyinari hati kami berdua yang gelap gulita, hehehe.” Jawab Lazha dramatis sambil menunjuk dirinya sendiri dan Rasya yang berada di sampingnya.
Aku melihat Cahaya hanya tersenyum mendengar jawaban Lazha.
“Tapi aya, kamu pernah ninggalin shalat nggak?” Cahaya terlihat tersentak saat mendengar pertanyaan Rasya.
“Kamu aneh sya, bukannya kamu tahu nggak ada manusia yang sempurna? Gitu juga aku kan? Tapi aku selalu ingat pesan ayah jadi aku pikir aku memang nggak sempurna tapi aku bisa menjadi yang terbaik kalau aku mau berusaha.” Dia menjawab dengan tersenyum, dan jawaban itu memberinya nilai yang sempurna di mataku.
“Emang apa pesan ayah mu ya?” Lazha kembali bertanya, dan dalam diam aku juga penasaran menunggu jawaban yang Cahaya berikan.
“Ayah bilang Allah memerintahkan setiap orangtua untuk memukul anak mereka yang berusia lebih dari 9 tahun namun tidak shalat, jadi ayah minta aku untuk tidak membuat ayah menderita karena harus memukul aku karena tidak shalat.” Jawab Cahaya dengan yakin.
Sepertinya dia terlalu asyik mengobrol dengan teman-temannya hingga tidak memperhatikan keberadaanku di sampingnya. Hal itulah yang memaksaku untuk berani menyapanya sebelum pergi meninggalkan tempatku. Meskipun hanya sekedar kata “duluan ya...” tapi aku senang, karena setidaknya aku sudah berusaha untuk melangkah lebih dekat dengannya. Sapaan itu membuat kedua temannya seperti kepiting rebus sedangkan dia seperti biasa kembali memberiku tatapan yang tidak dapat aku mengerti.
Tahun keduaku berakhir dengan sekelumit kenangan tentang langkah majuku yang begitu berani untuk menyapanya. Karena selama ini aku terlalu takut akan jawaban yang ada di balik tatapannya meskipun aku juga penasaran jadi aku hanya bisa menyelaminya dalam diam. Namun, meskipun dua tahun sudah berlalu dia tetaplah Cahaya Mentari yang tidak dapat dirasakan kehangatannya oleh Langit Andromeda.
Tahun ketigaku ini aku mulai dengan niat bahwa aku harus berani melangkah lebih maju untuk mendekatinya dan mendapatkan jawaban dari rasa penasaran yang selama ini mengerogoti pikiranku, karena ini adalah tahun terakhirku berada di SMA dan mungkin juga akan menjadi tahun terakhir untuk bisa selalu mencuri-curi kesempatan untuk melihatnya.
As you saw, so you rip. Begitulah pepatah yang selalu aku dengar, apa yang kau tanam itulah yang kau tuai. Aku baru saja berniat untuk mulai berusaha lebih dekat dengannya namun belum menemukan bagaimana caranya. Tetapi tangan Tuhan bergerak lebih cepat dari pada pikiranku, karena Dia memberiku cara untuk bisa lebih dekat dengannya.
Ditahun ketiga, semua murid akan sibuk dengan segala macam bentuk bimbingan yang pihak sekolah programkan untuk menghadapi UAN dan juga berbagai undangan masuk ke perguruan tinggi negeri tanpa tes sehingga membuat beberapa murid yang masuk seleksi penerima undangan harus konsultasi ke BK selain orangtua tentu saja. Bagian kedualah yang paling aku sukai karena memberiku ruang lebih untuk mengenal Cahaya, karena Aku  adalah kandidat utama penerima undangan masuk PTN (perguruan tinggi negeri) tanpa tes tersebut sebab peringkat pertama sekolah abadi berada digenggamanku. Sedangkan sebagai murid yang selalu mengekor peringkatku, Cahaya sudah mengakar dengan peringkat dua sekolah –meskipun aku tahu bahwa dia mendapat peringkat pertama di kelasnya tapi untuk tingkat sekolah aku telah mengalahkannya dengan kekalahan yang sangat telak-, juga mendapatkan kesempatan untuk menerima undangan PTN tanpa tes.
Kebahagianku tidak berhenti hanya sampai di sini karena sepertinya dewi fortuna telah mengecup keningku hingga menjadikan aku dan Cahaya memiliki jadwal konsultasi dan guru pembimbing BK yang sama, yaitu hari kamis jam 1 siang dengan ibu Endang. Keberuntungan benar-benar berpihak kepadaku.
Pada konsultasi pertama ibu Endang meminta aku dan Cahaya untuk mebuat rencana PTN tujuan utama dan PTN tujuan cadangan serta jurusan pilihan. Cahaya memilih UNPAD sebagai tujuan utama dan UGM sebagai tujuan cadangan. Untuk jurusan cahaya memilih Psikologi, pilihan-pilihannya itu membuat aku semakin menyadari bahwa dia memang benar-benar sulit ditebak. Dia menjadikan UGM sebagai pilihan kedua setelah UNPAD meskipun dilihat dari beberapa faktor UGM lebih baik dibanding UNPAD dan dia juga memilih jurusan psikologi, apa mungkin dia suka menyelami kepribadian orang hingga menyebabkan tatapannya padaku selalu aneh dan sulit untuk ditebak.
Sedangkan aku memilih UI sebagai tujuan utama dan tujuan cadangannya adalah UGM. Aku bersyukur  karena dari beberapa jenis tatapannya padaku, pada konsultasi pertama ini aku bisa memahami arti dari satu tatapan yang dia berikan padaku, itu adalah tatapan heran dan terkejut. Ya...saat aku mengatakan bahwa aku memilih jurusan sastra, dia menatapku dengan tatapan heran dan terkejut itu. Aku bisa memahami kenapa Cahaya heran dan terkejut mendengarku memilih jurusan itu. Ini karena aku selalu mendapat nilai yang hampir sempurna di semua mata pelajaran kecuali bahasa –dan semua orang tahu bahwa bahasa dan sastra tidak pernah terpisahkan.
Aku tahu tidak hanya Cahaya yang terkejut dan heran mendengar keputusanku, tapi ibu Endang juga begitu. Tapi aku tidak akan menyerah kerena aku tahu sastra adalah hal yang disukai oleh Cahaya. Aku yakin akan hal itu karena dia selalu menang dalam berbagai lomba baca dan tulis puisi, cerpen dan hal-hal yang berbau sastra. Tidak hanya itu puisi dan cerpennya juga selalu mengisi kolom mading dan juga majalah sekolah. Dia juga menjadi angkota inti dari club sastra di sekolah. Jadi aku tidak akan mundur meskipun ibu Endang menyarankan padaku untuk mengambil FKIP atau hukum, karena ini adalah satu-satunya jalan yang saat ini aku miliki untuk melangkah lebih dekat dengannya.
“Sastra atau tidak sama sekali” kataku tegas.
Konsultasi pertama ditutup dengan satu kesimpulan dariku, bahwa akan sangat sulit mengartikan tatapannya padaku karena dia suka dengan dunia psikologi sehingga mudah baginya untuk mengendalikan dirinya dari perhatian orang lain. Konsultasi-konsultasi berikutnya berlalu begitu saja, hanya dengan sapa dan senyum di awal dan akhir perjumpaanku dengan Cahaya, tidak lebih. Jadi, aku sedikit menyesali sikapku yang sangat penakut itu hingga tidak berani meskipun hanya sekenar mengajaknya mengobrol.
Seperti yang sudah aku duga, aku akan menutup tahun ketigaku dengan hasil yang sangat memuaskan. Ya...aku menjadi lulusan terbaik dan diterima di PTN terbaik. Semua orang pasti mengira itu suatu yang sempurna. Namun, jika aku pikirkan kembali, itu tidaklah sempurna karena meskipun 3 tahun telah aku lalui tapi aku hanya bisa melangkah beberapa jengkal kearah Cahaya dan itu tidak menimbulkan perubahan yang berarti.
Tiga tahun masa abu-abuku kini mulai berlalu, meninggalkan banyak kenangan tentang persahabatan, persaudaraan, juga cinta. Ya...CINTA. Aku seperti namaku Langit Andromeda, bukan galaksi Bima Sakti yang ditakdirkan oleh Tuhan untuk selalu disinari oleh Cahaya Mentari. Sehingga aku tidak pernah bisa merasakan hanyatnya sinar mentari itu





Epilog

S
etiap orang berhak menentukan akhir cerita seperti apa yang kalian inginkan karena kalian adalah penulis skenario dalam cerita kehidupan yang kalian jalani dan juga cerita ini.
Mungkin akan ada yang memilih untuk menyatukan mereka dengan pertemuan yang tak terduga, hingga memunculkan keberani dalam diri Cahaya dan Langit untuk mengungkapakan isi hati mereka atau ada yang lebih memilih untuk mengakhirinya dengan akhir yang menyedihkan dan mengaharu biru karena pada akhirnya Cahaya dan Langit tidak pernah bertemu dan hanya bisa memendam cinta dalam hati.
Tapi, bagaimanapun akhir yang kalian inginkan, aku berharap itu adalah hal terbaik yang bisa kalian lakukan karena seperti kata Adrea Hirata bahwa kita harus relistis (melakukan yang terbaik di titik di mana kita berdiri) agar kelak kita tidak akan menyesali apa yang akan terjadi karena setidaknya kita tahu bahwa kita telah mencoba yang terbaik untuk kita lakukan.
Jadi akhir cerita seperti apakah yang kalian berikan untuk Cahaya Mentari di Langit Andromeda ini...?

Selasa, 29 Januari 2013

Cerpen Q


CINTA MASIHKAH KAU DI SANA_????

Dulu kalau aku tak begitu, kini bagaimana aku?
Dulu kalau aku tak di situ, kini di mana aku?
Kini kalau aku begini, kelak bagaimana aku?
Kini kalau aku di sini, kelak di mana aku?
          Tak tahu kelak ataupun dulu
          Cuma tahu kini aku begini
          Cuma tahu kini aku di sini
          Dan kini aku melihatmu[1]

Itu adalah sebait puisi yang di gunakan oleh Ilana Tan untuk membuka novel pertamanya. Tapi kawan, aku ingin membuka ceritaku yang pertama ini dengan sebuah pesan manis “nikmati setiap cinta yang kau miliki, dan sebarkan ribuan cinta pada setiap orang yang kau temui”.


Prolog....
          “CINTA”. Menurut matematikawan, cinta itu ibarat tan 900 = ~, karena cinta itu tak terhingga adanya. Kalau kata fisikawan, cinta itu bagaikan gerak lurus beraturan (GLB) yang memerlukan energi(N).
          Tapi di mataku, Lazhananta Putri Aditama, cinta itu ibarat buku, di halaman pertama aku tulis nama Tuhan dan orang tuaku karena berkat cinta merekalah aku ada dan hidup di dunia. Di halaman selanjutnya aku tulis nama teman-teman dan orang-orang yang menyayangiku karena dengan cinta mereka aku menjalani hari-hariku. Lalu aku buka sampai bagian tengah yang mudah ku sobek untuk dibuang, di sana aku tulis nama musuh-musuh dan orang-orang yang pernah menyakitiku karena berkat kebencian merekalah aku dapat lebih memahami bahwa cinta itu sungguh berharga. Dan di halaman terakhir aku menulis namanya, karena dia adalah orang pertama dalam hidupku, yang mengenalkan kepadaku hakikat untuk mencintai dan aku harap dia jugalah orang yang akan menemaniku hingga akhir cerita cinta dalam buku kehidupanku.
          Lazha, begitulah orang memanggilku. Saat ini aku mempunyai sebuah buku cerita kehidupanku dan aku ingin membagikan cerita itu padamu juga pada semua orang. Cerita itu tentang cinta pertamaku.

Antara awal dan akhir....
Cinta pertamaku adalah sebuah ketidak pastian.
Aku adalah seorang murid SMA yang biasa-biasa saja. Tidak cantik, tidak populer, tidak cerdas, dan juga tidak kaya, jadi bisa dikatakan bahwa tidak ada yang bisa di banggakan dari diriku. Namun kawan, mungkin kau dan banyak orang lainnya akan iri bila aku katakan bahwa cinta pertamaku adalah sosok cowok tampan yang selalu menjadi bintang di SMAku. Bintang yang selalu bersinar di setiap hal yang dia lakukan. Basket dan olipiade matematika adalah keahliannya, sedangkan ketua OSIS adalah jabatannya. Tapi ROHIS adalah organisasi yang tidak pernah dia tinggalkan.
Bintang yang selalu bersinar di sekolah juga di hatiku itu bernama Orion. Ya...hanya Orion, tidak lebih juga tidak kurang. Kawan, jika ada yang bilang kalau nama adalah do’a maka, do’a orang tua Orion pastilah sudah terkabul  karena harapan mereka untuk mendapatkan anak yang bersinar terang seperti rasi bintang Orion sudah mereka raih. Dan kini bintang yang bersinar itu menjadi milikku dan hanya milikiku seorang sejak dia mengatakan bahwa dia menyukaiku.
Aku tidak pernah tahu mengapa dia memilihku. Dia bisa mendapatkan yang lebih baik dari diriku yang serba biasa dan tidak dapat dibanggakan. Namun, setiap kutanyakan padanya “mengapa kau memilihku?” maka dia hanya akan diam dan menundukan kepalanya dan akhirnya memberikan seulas senyum simpulnya yang manis dan menenangkan jiwa sebagai jawaban. Dan hingga saat inipun, aku belum pernah bisa mengartikan apa makna di balik senyum yang selalu meluluhkan hatiku itu.
Tapi jika ada yang bertanya “mengapa aku menyukainya?” maka jawabanku bukanlah karena sinar kebintangannya yang begitu terang ataupun wajahnya yang tampan juga bukan karena senyumnya yang selalu menenangkan hati dan jiwaku. Mungkin kau dan semua orang akan mengatakan bahwa jawabanku klise dan munafik. Tapi aku menyukainya karena dia adalah dirinya. Aku menyukai kesederhanaan dalam dirinya juga sikapnya yang selalu tenang dalam setiap keadaan.  Aku menyukai kesabarannya saat mengajariku logaritma, listrik statis juga bilangan Avogadro. Aku menyukai sikapnya yang selalu membuatku merasa spesial, seperti pagi ini saat aku terbangun dari tidurku dan mendapat sebuah pesan singkat yang begitu manis darinya,,,
Apa kabar hati?
Masihkan ia embun? Meruduk tawadu’ di pucuk-pucuk daun
Masihkah dia karang? Berdiri tegar menghadapi gelombang ujian
Apa kabar iman?
Masihkah dia bintang? Yang benderang menerangi kehidupan
Apa kabar sayangku?
Di manapun engkau berada, semoga ALLAH SWT. Senantiasa menjaga dan melindungi dirimu, hatimu dan imanmu
Amin....

Seperti inilah keindahan hari-hari yang aku jalani selama dia ada di sampingku. Meskipun selalu ada guratan-guratan hitam yang mewarnai perjalanan kisah cinta pertamaku, seperti bisikan-bisikan iri dari teman-teman yang tidak dapat melihat kami jalan berdua dengan bahagia, dan cekcok-cekcok kecil yang terjadi karena perbedaan pendapat juga rasa cemburu yang ada. Namun aku dan bintangku bisa mengatasinya dengan baik. Ya...inilah cerita cinta anak remaja yang baru aku rasakan di banggku SMA.
Semua hal terasa manis jika kita menikmatinya dengan penuh rasa cinta. Itulah yang selalu aku rasakan saat aku bersama bintangku. Namun semua rasa manis itu harus berakhir saat aku dan bintangku memutuskan untuk mengakhiri kisah cinta yang manis ini. Sakit memang. Tapi juga ada rasa bahagia dan bangga ketika hubungan ini berakhir. Karena dia, bintang yang selalu bersinar di hatiku, mengakhiri hubungan kami karena ingin fokus pada beasiswa yang dia dapatkan. Aku terima semuanya, karena aku tidak ingin menjadikan cintaku sebagai alasan untuk mengekang harapannya untuk sukses.
Hingga kini, aku masih mengingat kata-kata perpisahan yang dia ucapkan di pertemuan terakhir kami. “Aku adalah mentarimu, jadi meskipun bulan dan bintang menemanimu di saat malam tetap saja mereka hanya memantulkan sinarku dan kamu tidak harus menungguku tetapi cukup untuk kamu tahu bahwa suatu saat nanti mentari ini akan kembali  untuk menyinari hari-harimu lagi ”.

Epilog....
Kini, aku telah beberapa kali mencoba untuk menikmati cinta lain yang aku temui. Namun seperti kata Orion, mereka hanyalah bulan dan bintang yang hanya sekedar memantulkan sinar mentari, karena hingga saat ini pun aku mesih menyimpan sedikit harapan di lubuk hatiku yang suram bahwa Orion akan menepati janjinya untuk kembali padaku.
Tapi di sinilah aku sekarang, dengan hati bergetar menunggu kabar yang tidak kunjung datang.
“Lazha...acara akad nikahnya lancar. Selamat kamu sekarang sudah resmi menjadi nyonya Ares Putra Rendrawan.”
Ya....seperti inilah caraku mengakhiri semua kisah cintaku.



[1] Ilatan tan, Summer in Seoul, (Jakarta: Gramedia, 2010), hlm 7